Makanan Haram Dalam Pandangan Islam
Oleh
Ahmad Kali Akbar
Mahasiswa
Institut Studi Islam Darussalam
Makanan
merupakan sumber kekuatan manusia untuk melakukan aktivitas sehari-hari. Tapi
alangkah mulianya jika makanan tersebut dikonsumsi dengan niat untuk beribadah
kepada Allah SWT. Terkait dengan masalah makanan, dewasa ini umat muslim banyak
dipengaruhi oleh tren hidup global, sadar atau tidak mereka sudah terseret
kedalam arusnya. Saat ini masih sulit untuk membedakan antara makanan yang
halal dan haram.
Kondisi ini tentu sangat memprihatinkan bagi kaum Muslim.
Karena sedikitnya informasi yang menjelaskan status hukum sebuah produk sudah
barang tentu membatasi pilihannya. Sehingga siapa pun akan mudah terjebak
mengonsumsi barang yang haram. Padahal, Allah dan Rasul-Nya telah menegaskan
dengan sangat jelas bahwa Allah akan mencukupkan rezeki mereka sebagaimana
termaktub dalam firman-Nya, yang artinya, “Dan berapa banyak binatang yang
tidak dapat membawa (mengurus) rezekinya sendiri. Allah-lah yang memberi rezeki
kepadanya dan kepadamu dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS.
al-‘Ankabut: 60).
Dalam Islam, kita tidak diperbolehkan serta merta
mengonsumsi makanan tanpa menilainya dari segi halal dan haram. Islam tidak
mungkin melarang atau memerintahkan umatnya melakukan sesuatu tanpa alasan yang
jelas. Begitu juga dalam soal makanan haram. Karena makanan yang dikonsumsi
manusia tidak hanya berpengaruh terhadap kesehatan jasmaninya saja, akan tetapi
juga berpengaruh terhadap kesehatan rohaninya. Makanan yang halal, baik dan
bersih akan membentuk jiwa yang suci dan jasmani yang sehat. Sebaliknya, makanan
yang haram akan membentuk jiwa yang keji dan hewani.
Makanan
haram dalam perspektif Islam
Islam
membagi makanan haram ke dalam dua jenis. Pertama, makanan yang
haram karena zatnya sendiri. Artinya, makanan itu telah masuk dalam kategori
makanan yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dengan alasan makanan tersebut
tidak baik untuk kesehatan jasmani dan rohani manusia. Jika dikonsumsi maka
akan menimbulkan penyakit pada tubuh manusia. Di antara makanan haram yang
masuk kategori di atas adalah darah, bangkai, daging babi, daging hewan yang
disembelih atas nama selain Allah, hewan yang mati karena terpukul, tercekik,
terjatuh, dan diterkam binatang buas. Hal tersebut dijelaskan dalam Surah
al-Maidah ayat 3, yang artinya, “Diharamkan atasmu (memakan) bangkai, darah,
daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang
tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk dan diterkam binatang buas,
kecuali yang sempat kamu menyembelihnya.”
Dari ayat diatas dapat kita simpulkan bahwa Allah sudah
merinci makanan haram dengan sangat detil. Lain halnya dengan makanan halal,
Allah tidak menjelaskannya secara detail. Mengapa demikian? Karena asal hukum
makanan adalah halal, maka Allah tidak merinci dalam al-Qur’an satu persatu.
Begitu juga Rasulullah SAW dalam hadis-hadisnya. Ini berarti jumlah dan jenis
makanan yang haram itu jauh lebih sedikit dibandingkan dengan makanan halal.
Maka amat logis jika dalam kaidah pertama dan utama dari hukum fiqh menyatakan,
“Apapun yang bisa dikonsumsi adalah halal, kecuali yang diharamkan.” Sesuatu
belum jelas status hukumnya, atau terletak antara halal dan haram, memiliki
kedudukan sendiri yang disebut syubhat. Dan Rasulullah sudah melarang kita
untuk mendekati segala yang syubhat.
Kedua, makanan yang haram bukan karena zatnya. Asal hukum makanan
itu halal, akan tetapi cara mendapatkannya yang membuatnya menjadi haram.
Contohnya adalah makanan hasil curian, perampokan, penipuan, perjudian dan lain
sebagainya yang dilarang Islam. Makanan seperti ini jelas diharamkan Islam.
Orang yang memakan makanan tersebut tidak akan mendapatkan barakah dari Allah
SWT.
Banyak kisah-kisah menarik yang menceritakan bagaimana
perbedaan antara keluarga yang dinafkahi dengan makanan halal dan keluarga yang
dinafkahi dengan makanan haram. Keluarga pertama tergolong kedalam keluarga
yang kurang mampu. Sang ayah bekerja hanya sebagai petani biasa dengan
penghasilan yang pas-pasan. Putra-putri keluarga mereka tumbuh sehat jasmani
dan rohaninya, berakhlak mulia dan cerdas sehingga orang tuanya sangat
menyayangi mereka. Sedangkan keluarga kedua tergolong kedalam keluarga mampu.
Sang ayah adalah seorang rentenir, menafkahi keluarganya dengan uang riba.
Mereka selalu mengeluh karena kelakuan putra-putrinya yang membuatnya kesal.
Dalam hal ini, makanan menjadi faktor utama sebagai penyebab perbedaan
pertumbuhan akhlak anak-anak mereka. Karena makanan yang dikonsumsi akan
menjadi darah dan daging orang tersebut. Maka para orang tua harus selalu
waspada terhadap makanan yang ia nafkahkan kepada keluarganya. Apakah ia
termasuk makanan halal atau haram.
Dalam kitab Ihya
`Ulumiddin, Hujjatul Islam Imam al-Ghazali
mengatakan bahwa para istri yang hidup di tiga zaman (sahabat, tabi`indan atba`
tabi`in) mempunyai tradisi tersendiri. Jika
para suami mereka akan keluar mencari rezeki, mereka berpesan, “Takutlah kepada
Allah, dan janganlah memberi makan kami dari barang haram. Sesungguhnya kami
masih bisa sabar terhadap kelaparan, akan tetapi kami tidak tahan terhadap
siksa neraka.”
Riwayat diatas menggambarkan betapa makanan haram itu sangat
dihindari oleh para sahabat. Mereka lebih memilih kelaparan ketimbang merasakan
pedihnya azab api neraka. Namun peristiwa tersebut sangat bertolak belakang
dengan keadaan masyarakat masa kini. Mayoritas masyarakat sekarang tidak peduli
dengan status hokum makanan, apakah ia termasuk halal atau haram. Tidak pernah
mencoba untuk berpikir apakah rezeki yang ia dapatkan sudah sejalan dengan
syariat Islam atau tidak.
Sikap memilukan tersebut saat ini berlaku bagi banyak orang
miskin ataupun orang kaya. Bagi si miskin, mendapatkan makanan untuk
memperpanjang hidup mereka adalah tujuan utama. Sementara bagi si kaya,
bagaimana caranya agar bisa menikmati hidangan yang enak, tanpa peduli dengan
cara mendapatkannya.
Makanan
haram di sekitar kita
Makanan
haram sudah menyelinap dan menyatu bersama makanan halal. Status atau label
halal yang ada disetiap kemasan makanan hanya sedikit membantu. Ada pihak-pihak
yang hanya sekadar menempekannya saja, tanpa memenuhi standar kualitas atau melalui
pengujian instansi yang dapat dipertanggungjawabkan. Dalam banyak produk,
sulit bagi kita untuk membedakan antara makanan halal dan haram.
Cukup banyak makanan kaleng terutama yang berasal
dari luar negeri yang mempunyai label halal, tetapi label tersebut dibuat
oleh pihak pabrik. Label halal tidak dibuat atau dikeluarkan oleh pabrik,
tapi dikeluarkan oleh MUI setelah dilakukan pengkajian terhadap produk tersebut
di laboratorium, yang dalam hal ini MUI bekerja sama dengan Balai Pengawasan
Obat dan Makanan (POM).
Menurut Pimpinan Pondok Pesantren Ulil Albab, Bogor, Didin
Hafidhuddin, seperti dilansir di Republika Online (10/12/08), rendahnya
kesadaran umat Islam terhadap makanan halal karena kurangnya sosialisasi akan
pentingnya kehalalan sebuah makanan. Selama ini mereka hanya mengetahui bahwa
makanan haram adalah daging babi, darah ataupun daging hewan sembelihan yang
tak disebutkan nama Allah dalam penyembelihannya. Padahal ada makanan yang
merupakan hasil dari sejumlah bahan yang bisa saja mengandung bahan haram. Ini
menjadi tugas bersama, pemerintah dan masyarakat. Dengan demikian, mestinya ada
langkah sinergis untuk melakukan upaya sosialisasi kepada masyarakat mengenai
makanan halal tersebut. ‘’Departemen agama, LPPOM MUI, LSM, bahkan perguruan
tinggi, dapat bersinergi untuk melakukannya,’’ papar Didin.
Lembaga-lembaga tersebut dapat melakukan riset makanan mana
saja yang statusnya halal dan mana yang haram. Kemudian mereka
mensosialisasikan produk makanan tersebut kepada masyarakat. Dengan demikian,
masyarakat akan mendapat informasi yang cukup dan dapat memilih makanan yang
halal saja.
Bentuk sosialisasi dapat dilakukan dengan banyak cara. Di
antaranya dengan menerbitkan buku-buku yang memuat informasi tentang makanan
halal dan haram serta bahayanya bagi kehidupan. Peran ulama juga sangat
dibutuhkan untuk menyadarkan masyarakat akan bahaya makanan haram. Allah
melarang untuk mengonsumsi makanan haram bukan hanya untuk menguji ketaatan
umat-Nya saja, melainkan lebih dari itu, karena mudharat yang ditimbulkan lebih
banyak dari manfaatnya.
Bagi masyarakat yang sudah mengenal baik karakteristik
makanan haram, diharapkan agar lebih hati-hati dalam memilih makanan. Selain
lebih waspada terhadap label halal MUI, umat Islam juga harus lebih
berhati-hati terhadap tempat yang didatangi apakah dikelola seorang Muslim atau
bukan. Dan tentu saja tidak lupa untuk mengucapkan basmalah sebelum
mengonsumsi makanan tersebut. Jika semua proses tersebut sudah ditempuh,
maka kebenaran hanyalah milik Allah. Manusia hanya bisa berusaha, namun
Allah-lah yang menentukan segalanya. Wallahu a’lam bish shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar