Kamis, 24 Januari 2013

Makanan Haram dalam Islam


Makanan Haram Dalam Pandangan Islam
Oleh Ahmad Kali Akbar
Mahasiswa Institut Studi Islam Darussalam

Makanan merupakan sumber kekuatan manusia untuk melakukan aktivitas sehari-hari. Tapi alangkah mulianya jika makanan tersebut dikonsumsi dengan niat untuk beribadah kepada Allah SWT. Terkait dengan masalah makanan, dewasa ini umat muslim banyak dipengaruhi oleh tren hidup global, sadar atau tidak mereka sudah terseret kedalam arusnya. Saat ini masih sulit untuk membedakan antara makanan yang halal dan haram.
Kondisi ini tentu sangat memprihatinkan bagi kaum Muslim. Karena sedikitnya informasi yang menjelaskan status hukum sebuah produk sudah barang tentu membatasi pilihannya. Sehingga siapa pun akan mudah terjebak mengonsumsi barang yang haram. Padahal, Allah dan Rasul-Nya telah menegaskan dengan sangat jelas bahwa Allah akan mencukupkan rezeki mereka sebagaimana termaktub dalam firman-Nya, yang artinya, “Dan berapa banyak binatang yang tidak dapat membawa (mengurus) rezekinya sendiri. Allah-lah yang memberi rezeki kepadanya dan kepadamu dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. al-‘Ankabut: 60).
Dalam Islam, kita tidak diperbolehkan serta merta mengonsumsi makanan tanpa menilainya dari segi halal dan haram. Islam tidak mungkin melarang atau memerintahkan umatnya melakukan sesuatu tanpa alasan yang jelas. Begitu juga dalam soal makanan haram. Karena makanan yang dikonsumsi manusia tidak hanya berpengaruh terhadap kesehatan jasmaninya saja, akan tetapi juga berpengaruh terhadap kesehatan rohaninya. Makanan yang halal, baik dan bersih akan membentuk jiwa yang suci dan jasmani yang sehat. Sebaliknya, makanan yang haram akan membentuk jiwa yang keji dan hewani.

Makanan haram dalam perspektif Islam
Islam membagi makanan haram ke dalam dua jenis. Pertama, makanan yang haram karena zatnya sendiri. Artinya, makanan itu telah masuk dalam kategori makanan yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dengan alasan makanan tersebut tidak baik untuk kesehatan jasmani dan rohani manusia. Jika dikonsumsi maka akan menimbulkan penyakit pada tubuh manusia. Di antara makanan haram yang masuk kategori di atas adalah darah, bangkai, daging babi, daging hewan yang disembelih atas nama selain Allah, hewan yang mati karena terpukul, tercekik, terjatuh, dan diterkam binatang buas. Hal tersebut dijelaskan dalam Surah al-Maidah ayat 3, yang artinya, “Diharamkan atasmu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya.”
Dari ayat diatas dapat kita simpulkan bahwa Allah sudah merinci makanan haram dengan sangat detil. Lain halnya dengan makanan halal, Allah tidak menjelaskannya secara detail. Mengapa demikian? Karena asal hukum makanan adalah halal, maka Allah tidak merinci dalam al-Qur’an satu persatu. Begitu juga Rasulullah SAW dalam hadis-hadisnya. Ini berarti jumlah dan jenis makanan yang haram itu jauh lebih sedikit dibandingkan dengan makanan halal. Maka amat logis jika dalam kaidah pertama dan utama dari hukum fiqh menyatakan, “Apapun yang bisa dikonsumsi adalah halal, kecuali yang diharamkan.” Sesuatu belum jelas status hukumnya, atau terletak antara halal dan haram, memiliki kedudukan sendiri yang disebut syubhat. Dan Rasulullah sudah melarang kita untuk mendekati segala yang syubhat.
Kedua, makanan yang haram bukan karena zatnya. Asal hukum makanan itu halal, akan tetapi cara mendapatkannya yang membuatnya menjadi haram. Contohnya adalah makanan hasil curian, perampokan, penipuan, perjudian dan lain sebagainya yang dilarang Islam. Makanan seperti ini jelas diharamkan Islam. Orang yang memakan makanan tersebut tidak akan mendapatkan barakah dari Allah SWT.
Banyak kisah-kisah menarik yang menceritakan bagaimana perbedaan antara keluarga yang dinafkahi dengan makanan halal dan keluarga yang dinafkahi dengan makanan haram. Keluarga pertama tergolong kedalam keluarga yang kurang mampu. Sang ayah bekerja hanya sebagai petani biasa dengan penghasilan yang pas-pasan. Putra-putri keluarga mereka tumbuh sehat jasmani dan rohaninya, berakhlak mulia dan cerdas sehingga orang tuanya sangat menyayangi mereka. Sedangkan keluarga kedua tergolong kedalam keluarga mampu. Sang ayah adalah seorang rentenir, menafkahi keluarganya dengan uang riba. Mereka selalu mengeluh karena kelakuan putra-putrinya yang membuatnya kesal. Dalam hal ini, makanan menjadi faktor utama sebagai penyebab perbedaan pertumbuhan akhlak anak-anak mereka. Karena makanan yang dikonsumsi akan menjadi darah dan daging orang tersebut. Maka para orang tua harus selalu waspada terhadap makanan yang ia nafkahkan kepada keluarganya. Apakah ia termasuk makanan halal atau haram.
Dalam kitab Ihya `Ulumiddin, Hujjatul Islam Imam al-Ghazali mengatakan bahwa para istri yang hidup di tiga zaman (sahabat, tabi`indan atba` tabi`in) mempunyai tradisi tersendiri. Jika para suami mereka akan keluar mencari rezeki, mereka berpesan, “Takutlah kepada Allah, dan janganlah memberi makan kami dari barang haram. Sesungguhnya kami masih bisa sabar terhadap kelaparan, akan tetapi kami tidak tahan terhadap siksa neraka.”
Riwayat diatas menggambarkan betapa makanan haram itu sangat dihindari oleh para sahabat. Mereka lebih memilih kelaparan ketimbang merasakan pedihnya azab api neraka. Namun peristiwa tersebut sangat bertolak belakang dengan keadaan masyarakat masa kini. Mayoritas masyarakat sekarang tidak peduli dengan status hokum makanan, apakah ia termasuk halal atau haram. Tidak pernah mencoba untuk berpikir apakah rezeki yang ia dapatkan sudah sejalan dengan syariat Islam atau tidak.
Sikap memilukan tersebut saat ini berlaku bagi banyak orang miskin ataupun orang kaya. Bagi si miskin, mendapatkan makanan untuk memperpanjang hidup mereka adalah tujuan utama. Sementara bagi si kaya, bagaimana caranya agar bisa menikmati hidangan yang enak, tanpa peduli dengan cara mendapatkannya.

Makanan haram di sekitar kita
Makanan haram sudah menyelinap dan menyatu bersama makanan halal. Status atau label halal yang ada disetiap kemasan makanan hanya sedikit membantu. Ada pihak-pihak yang hanya sekadar menempekannya saja, tanpa memenuhi standar kualitas atau melalui pengujian instansi yang dapat dipertanggung­jawabkan. Dalam banyak produk, sulit bagi kita untuk membedakan antara makanan halal dan haram.
 Cukup banyak makanan kaleng ter­­­utama yang ber­­asal dari luar negeri yang mem­punyai label ha­lal, tetapi label tersebut dibuat oleh pihak pabrik. Label halal tidak dibuat atau dike­luarkan oleh pab­rik, tapi di­keluar­kan oleh MUI se­telah dilakukan­ pengkajian ter­hadap produk ter­sebut di labo­ratorium, yang da­lam hal ini MUI bekerja sama dengan Balai Peng­awasan Obat dan Makanan (POM).
Menurut Pimpinan Pondok Pesantren Ulil Albab, Bogor, Didin Hafidhuddin, seperti dilansir di Republika Online (10/12/08), rendahnya kesadaran umat Islam terhadap makanan halal karena kurangnya sosialisasi akan pentingnya kehalalan sebuah makanan. Selama ini mereka hanya mengetahui bahwa makanan haram adalah daging babi, darah ataupun daging hewan sembelihan yang tak disebutkan nama Allah dalam penyembelihannya. Padahal ada makanan yang merupakan hasil dari sejumlah bahan yang bisa saja mengandung bahan haram. Ini menjadi tugas bersama, pemerintah dan masyarakat. Dengan demikian, mestinya ada langkah sinergis untuk melakukan upaya sosialisasi kepada masyarakat mengenai makanan halal tersebut. ‘’Departemen agama, LPPOM MUI, LSM, bahkan perguruan tinggi, dapat bersinergi untuk melakukannya,’’ papar Didin.
Lembaga-lembaga tersebut dapat melakukan riset makanan mana saja yang statusnya halal dan mana yang haram. Kemudian mereka mensosialisasikan produk makanan tersebut kepada masyarakat. Dengan demikian, masyarakat akan mendapat informasi yang cukup dan dapat memilih makanan yang halal saja.
Bentuk sosialisasi dapat dilakukan dengan banyak cara. Di antaranya dengan menerbitkan buku-buku yang memuat informasi tentang makanan halal dan haram serta bahayanya bagi kehidupan. Peran ulama juga sangat dibutuhkan untuk menyadarkan masyarakat akan bahaya makanan haram. Allah melarang untuk mengonsumsi makanan haram bukan hanya untuk menguji ketaatan umat-Nya saja, melainkan lebih dari itu, karena mudharat yang ditimbulkan lebih banyak dari manfaatnya.
Bagi masyarakat yang sudah mengenal baik karakteristik makanan haram, diharapkan agar lebih hati-hati dalam memilih makanan. Selain lebih waspada terhadap label halal MUI, umat Islam juga harus lebih berhati-hati terhadap tempat yang didatangi apakah dikelola seorang Muslim atau bu­kan. Dan ten­tu saja tidak lupa untuk meng­­ucapkan basmalah sebelum mengonsumsi makanan tersebut. Jika se­mua proses ter­sebut sudah ditem­puh, maka kebenaran hanyalah milik Allah. Manusia hanya bisa ber­usaha, namun Allah-lah yang me­nentukan segalanya. Wallahu a’lam bish shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar