Perayaan Natal Keluarga Belanda
Indahnya hidup beragama akan terasa manis jika kita
saling menghormati antar pemeluk agama yang berlainan.
Mungkin satu cerita menarik dari pengalaman Dr. Mr.
Ide Anak Agung dan kakak perempuannya yang beragama Hindu ketika mereka mondok
dirumah keluarga Belanda, Van Velthoven, yang beragama Kristen, akan menggugah
hati kita akan manisnya toleransi beragama.
Dalam bukunya yang berjudul Kenangan
Masa Lampau Zaman Kolonial Hindia Belanda dan Zaman pendudukan Jepang di Bali, Dr Ide Anak Agung menceritakan
: “Sekalipun saya dan kakak tidak beragama Kristen, setiap hari raya Kristen
yaitu hari Sint Nikolas dan Natal yang dirayakan dengan meriah, kami pun turut
hadir. Bukan hadir dalam ibadat tapi pada perayaan atau pestanya. Pada keluarga
Belanda, sebelum Natal, ada hari raya Sint Nikolas setiap tanggal 5 desember
yang biasanya dirayakan dengan penuh semangat dan meriah. Pada hari itu setiap
anggota keluarga memberi kado kepada anggota keluarga yang lain (biasanya
terdiri dari beberapa barang kecil). Tetapi yang penting sebenarnya bukan benda
yang diberikan namun sajak-sajak yang disertakan dalam hadian tersebut,
penghargaan bahkan ejekan atas nama Sint Nikolas tersebut. Mula-mula kami
sangat kikuk menulis dalam bahasa Belanda karena pengetahuan kami yang sangat
terbatas, tapi lambat laun, setelah lama kost disana, sajak kami tidak kalah
dengan mereka.
Hari raya Natal merupakan puncak perayaan bagi
keluarga ini. Saya dan kakak tidak ikut pergi ke Gereja dan hanya menunggu di
rumah. Setibanya keluarga Van Velthoven dirumah pada dini hari diadakan makan
bersama yang terdiri dari hidangan dingin dan kue-kue istimewa untuk hari itu. Esok
malamnya, tanggal 25 Desember, diadakan santap besar dengan makanan-makanan
yang serba mewah, dan pada saat itu kalkun panggang tidak pernah absen. Malam pergantian
tahun juga dirayakan dengan santap malam istimewa sambil menunggu pukul 12
malam saat dihidangkan anggur sampanye dan semua keluarga menyampaikan ucapan
selamat tahun baru satu sama lain. Kami ikut serta merayakan semua perayaan hari
raya bukan karena paksaan melainkan secara sukarela karena ingin mengetahui
kebudayaan Barat tanpa mengorbankan dasar kebudayaan dan agama kami.” (Yayasan
Obor Indonesia, 1993). (Lily Utami,pemerhati sejarah
budaya).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar